Kamis, 23 Februari 2012

Ilmuwan Farmasi Muslim di masa kejayaanya



Sebenarnya seperti apa sih sejarah ilmuwah Muslim, khususnya di bidang farmasi? pada masa keemasannya Islam lah pusat peradaban dengan universitas-universitas tuanya, bahkan lebih tua dari pada universitas paris di Perancis. Namun sejak islam kalah dalam peperangan melawan eropa, sejarah menjadi tertutupi, sehingga sampai saat ini kita tidak dapat melihat buku-buku yang sedikitpun menyinggung tentang kontribusi ilmuwan farmasi Muslim…
berikut ini beberapa ilmuwan farmasi tersebut :

Ibnu Al-Baitar
Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana), Ibnu Al-Baitar turut memberi kontribusi dalam dunia farmasi. Dalam kitabnya itu, Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah. Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian Al-Jami fi Al-Tibb menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan sampai masa Renaisans di Eropa.

Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M – 1051 M)
Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmasi. Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 M – setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang farmasis.

Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)
Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Buku tersebut memaparkan tentang pendekatan metodologi eksperimen, serta observasi dalam bidang farmasi.

Al-Razi
Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan kimia dalam pembuatan obat-obatan.

Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)
Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia (farmakope). Kontribusinya dalam bidang farmasi juga terbilang amat besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan. Sumbangannya untuk pengembangan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.

Ibnu Sina
Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang  700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana.

Al-Zahrawi
Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmasi. Dia adalah perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan destilasi.

Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M – 857 M)
Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.
Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

Abu Hasan ‘Ali bin Sahl Rabban at- Tabari
At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu’tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmasi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.
nah… sekarang saatnya kita kembali bangkit, sekarang bukanlah waktunya kita hanya mengenang kejayaan masa lalu, namun kita harus mengembalikan kejayaan itu

Sumber :  http://kamifa.gamais.itb.ac.id/?p=41

Jumat, 03 Februari 2012

“Barcelona is Not Spain?”





Pendahuluan

“Sukses Barcelona menjadi juara liga champion menjadi sukses spanyol”, begitulah kesimpulan harian-harian terkemuka Eropa dan pengamat sepakbola didunia, tapi bagaimana dengan warga Barcelona sendiri, mereka tetap berpendapat bahwa sukses Barcelona adalah sukses Catalonia (suku di Barcelona) bukan spanyol ( negara yang dianggap ‘menjajah’ suku Catalonia), ya Catalonia dilema sebuah bangsa ‘tanpa’ negara.
Menurut pimpinan karismatik bangsa Catalonia, Jordi Puyol, mereka masih sebuah bangsa terjajah dengan penjajah Spanyol yang beribukota madrid, mereka berani mengklaim sebagai sebuah bangsa karena punya bahasa dan budaya sendiri yang tak mengekor dari budaya Espana. Hal yang menarik karena menjadi acuan untuk kasus yang terjadi pada runtuhnya Uni Sovyet dan tentunya bagaimana merdeka negara-negara Inggris raya yang menikmati kemerdekaannnya hanya di sepakbola.
Pluralisme sendiri sudah menjadi bahan yang diperbincangkan oleh suku Catalonia dengan Spanyol sejak abad 18, dimana Catalonia saat itu sudah menjadi ekonomi nomor dua di Eropa,  Tapi hal tersebut membuat militansi gerakan-gerakan bawah tanah untuk merdeka semakin alot, baik di tingkat elit maupun tingkat bawah, tapi semua itu bisa diredam dengan nasionalisme semu dan kebanggaan Spanyol dari zaman dahulu.
Barcelona sendiri yang menjadi ibukota dari Catalonia adalah sebuah simbol perlawanan ‘nyata’ kepada Spanyol, dengan klub kebanggaan mereka yaitu FC Barcelona, selalu menyajikan rivalitas antara ’simbol’ Spanyol dengan Real Madridnya dan Catalonia dengan Barcelonanya, rivalitas ini menjadi bukti sahih bahwa mereka bukanlah spanyol tapi Catalonia.

Barcelona is not Spain

Barcelona adalah klub yang didirikan oleh Joan Gamper atau lebih dikenal dengan nama Hans Gamper, seseorang dari negara Swiss yang sebelumnya membentuk klub sepakbola di Swiss dengan nama Fc Basel, dengan kecintannya pada kota Barcelona serta kumpulan imigran Swiss yang banyak di Barcelona akhirnya dia membentuk Fc Barcelona, kemudian dia bermain antara tahun 1901-1903 dengan mencetak 103 gol,  dan menjadi presiden klub pertama dari 1908 sampai 1930.
Barcelona sendiri menjadi juara liga Spanyol yang pertama pada 1929, tepat setahun sebelum Joan Gamper meninggal akibat bunuh diri. Disaat itu Joan Gamper berhasil membentuk klub dengan pemain-pemain hebat ketika itu seperti kiper Ricardo Zamora dan Paulino Al Cantra ( imigran asal Filipina), menarik membahas Zamora (yang namanya diabadikan sebagai penghargaan atas kiper terbaik di liga Spanyol) karena dialah pemain pertama yang melakukan ‘penghianatan’ dengan pindah ke Real Madrid.
Mulainya Rivalitas dimulai dengan kediktatoran Jenderal Franco yang melakukan intimidasi terhadap suku-suku pemberontakan di Spanyol seperti Catalonia dan Basque, melarang pengunaan bahasa dan bendera Catalonia, membunuh presiden Barcelona saat itu Josep Sunol, menjatuhkan bom di lapangan sepakbola Barcelona dan menyuruh Barcelona untuk selalu mengalah kepada Real madrid (klub favorit jenderal Franco) pada liga Spanyol.
Hal itu membuat Barca semakin anti Franco dan Real Madrid serta membuat serunya El Classico dan juga memancing Johan Cruyff (legenda Belanda) untuk hanya mau membela Barcelona daripada Real Madrid, dan hanya mau melatih Barcelona daripada Real Madrid. Cruyff sendiri memberikan sejarah spektakulernya bersama Barcelona baik sebagai pelatih maupun pemain dengan 13 gelar baik di domestik dan Eropa.
Setelah era Cruyff  muncul Luis Figo yang menjadi pemain terbaik di dunia setelah membawa Barcelona menjadi jawara di liga Spanyol diakhir 90an dan membuatnya semakin terkenal karena kepindahannnya ke Real Madrid. Tidak terima pemain pujaan pindah ke Real Madrid, Luis Figo mendapat intimidasi jelang El Classico serta puncaknya saat ada pertandingan El Classico, penerobos masuk ketengah lapangan dan melemparkan bendera Catalonia serta (maaf) kepala babi yang berlumuran darah sebagai simbol keserakahan kepada Luis Figo. Luis Figo hanya terdiam dan menundukkan kepala.

Epilog


Pemain Barcelona ( Catalonia) ikut andil dan berperan besar dalam mengantar spanyol menjadi juara piala Eropa 2008 dan Piala dunia 2010, kemenangan Spanyol sebagai juara ikut menyuarakan bagaimana negara matador tersebut berhasil menjadi contoh bentuk pluralisme bagi negara manapun didunia. Tapi, benarkah?.
Carlos Puyol dan xavi tetap mengibarkan bendera Catalonia (merah kuning) saat kemenangan di piala dunia.Dan saat pesta Barcelona juara liga Spanyol dan liga Champion di Nou Camp, Iniesta dan xavi membuat diri mereka penuh dengan bendera dan lambang Catalonia, Pep Guardiola sendiri mengikat trophy Liga Champion dan trophy juara liga Spanyol dengan bendera Catalonia. Kemudian para pemainnya memberi testimoni dengan diakhiri kata “Visca Barcelona, Visca Catalonia”  bukan Espana  (Spanyol).

Sumber :  http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/06/01/barcelona-is-not-spain/

Asal Mula Nama Indonesia, Wajib Baca !

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Edward Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.


Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.

Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).


Identitas Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya :
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Dan setelah itu lahirlah bangsa Indonesia.